Sunday, July 17, 2011

Murabbi Masa Depan

 Murabbi

Bismillahirrahmaanirrahim..
Sebelum kita mengenal lebih jauh tentang kata murabbi, ada baiknya kita mengetahui arti kata murabbi itu sendiri. Secara harfiyah murabbi berasal dari kata rabba – yurabbi – rabban yang artinya mendidik [lih: didik]. Murabbi adalah isim fa’il yang kedudukan wazannya adalah sebakai pelaku. Artinya kata murabbi disitu adalah sebagai pendidik, pendidik dalam hal apa? Banyak hal yang bisa diajarkan oleh seorang pendidik karena pendidik merupakan kata benda yang tergeneralisasi. Seorang murabbi (pendidik) dapat menyampaikan ilmu, amal, akhlak dan ibrah. Ilmu yang disampaikan oleh murabbi dapat berupa wawasan yang ter up date pada masanya, materi yang telah ada didalam referensi dalam berbagai bidang ataupun wacana/issu yang sedang berkembang di masyarakat. Amal yang diajarkan oleh murabbi berpedoman pada Al qur-an, As sunnah, ijma’ para shahabah/iyah dan ijtihad ulama yang dapat kita temukan referensinya dari berbagai sumber. Akhlak yang diajarkan oleh para murabbi tentang kepantasan kita dalam berprilaku yang dinilai shahih atau tidak dalam pandangan dien kita, Islam, dan dalam memecahkan sebuah permasalahan yang sesunguhnya itu akan mendewasakan kita. Ibrah yang disalurkan dari para murabbi adalah pengajaran yang mulia dari sirah-sirah nabawiyah yang sangat menggetarkan hati dan begitu mudahnya menitikkan air mata karena begitu patuhnya para sahabat akan perintah-perintah Nabi yang merupakan murabbi paling sempurna, manusia maksum yang namanya paling diingat dalam sejarah peradaban Islam, begitu khusyu’nya para sahabat nabi dan pura-puranya kita. Begitu kuatnya keyakinan mereka dalam menjalankan perintah Nabi sehingga apapun keadaannya maka mereka akan siap dengan segala resiko yang akan dating. Seperti dalam kisah berikut ini bercerita tentang kekuatan haqqul yaqin pada diri seorang mutarabbi Rasulullah dan menegaskan bahwa begitu berpura-puranya kita didalam hidup ini. Berikut ceritanya.

Rasulullah usai dari pertempuran melawan salah satu kabilah yang menentang Daulah Islamiyah yang tengah berdiri di Madinah. Pertempuran itu dimenangkan oleh kaum Muslimin dengan menghalau mereka kembali ke kampung halaman mereka. Salah seorang dari kabilah itu kembali kerumahnya dan tidak menemui istrinya disana. Ia mengira bahwa istrinya ditawan oleh kaum Muslimin. Ia bersumpah untuk tidak kembali ke rumah hingga mendapatkan istrinya. Akhirnya ia mengintip pasukan Muslimin. Rasulallah memerintahkan tentara untuk berhenti ketika malam menjelang untuk menginap hingga pagi. Beliau meminta dari para sahabat untuk bertugas hirosah (ronda). Amar bin Yasir dan Ubad bin Bisyr sanggup memikul tugas itu.
Ketika mereka keluar ke mulut gang, si Anshar berkata kepada Muhajir, yakni Ubad kepada Amar.
            “Malam yang mana yang kau sukai, awal atau akhirnya?”
            “Biarkan untukku awalnya”
            Maka si Muhajir, Amar, mulai membaringkan tubuhnya lantas tidur. Sedang Anshar, Ubad, beranjak mengerjakan shalat. Kemudian datanglah orang itu. Ketika melihat sesosok manusia, ia yakin bahwa orang itu (Ubad) adalah penjaga kaum muslimin, maka ia bidikkan anak panah kearahnya, ia lepaskan dan mengenainya, namun sahabat itu dalam keadaan berdiri. Kemudian dilepaskan anak panah yang lain dan mengenainya hingga sahabat itu meneruskan ruku’ dan sujud. Setelah itu ia membangunkan sahabatnya dari tidur.
            Amar berkata, “Duduklah dengan tenang, aku telah bangun.” Orang itu lantas melompat demi dilihatnya kedua sahabat itu hendak membalasnya, lalu kaburlah ia.
            Ketika dilihatnya tubuh sahabat Anshar mencucurkan darah, Amar berkata, “ Subhanallah, mengapa kau tidak membangunkan aku saat pertama ia memanahmu?”
            “Saat itu aku sedang serius membaca satu surat, aku tidak ingin memutuskannya hingga tuntas. Maka panah demi panah mengenaiku, akupun ruku’ lantas membangunkanmu. Demi Allah, kalau bukan karena khawatir aku mengabaikan amanah (tugas) yang Rasulullah perintahkan aku untuk menjaganya, aku biarkan ia membunuhku hingga aku selesaikan bacaanku atau merealisasikan surat itu.
            Demikianlah kekhusyu’an mereka, bahkan sebagian meriwayatkan bahwa kakinya sampai terputus dalam keadaan shalat tanpa ia rasakan. Kehebatan macam apa ini? Kekhusyu’an macam apa jika diantara mereka merasakan istirahatnya dalam shalat?
            Oleh karena itu jika Rasulallah dikerumuni banyak problema atau malapetaka, beliau memanggil Bilal, agar Bilal segera adzan. “Istirahatkan kita dengan shalat, hai Bilal”
            Beliau menganggapnya sebagai refreshing atas segala beban yang dirasakannya dari pendustaan kaumnya dan perbuatan mereka menghalangi jalan Allah serta rongrongan dari para pembesar Quraisy.
            Adapun kita, tubuh-tubuh kita berdiri di masjid namun pikiran dan perasaan kita jauh melanglang buana ke luar masjid, baik seluk beluk urusan bisnis, nasib dan keadaan anak-anak dirumah serta binatang piaraan kita, dan rencana-rencana masa depan. Melambung pula kecantikan istri dan tunangan. Pikiran kita dikerumuni oleh problematika rumah tangga, anak-anak dan tetangga, urusan sawah, mobil dan semua yang berkaitan dengan jual beli, service, karier dan kenaikan pangkat, persaingan hingga semua pengembaraan jauh keluar masjid.
            Sampai akhirnya kita mendengar ucapan imam, Assalamu’alaikum, dan kita terkejut. Seakan seseorang membangunkan kita dari dengkur yang pulas, agar kembali menyadari bahwa kita sedang berada di masjid, di antara jamaah shalat. Barangkali ini adalah salah satu sebab yang kita saksikan, bahwa di antara manusia yang dalam senantiasa menjaga shalatnya, mereka tetap melakukan banyak kemaksiatan dan kedhaliman. Membuat mereka tidak khusyu’ dalam shalat. Tidak menyadari bahwa Allah ada didepan mereka, tidak mentadabburi apa yang mereka baca.
            Shalatnya tidak dapat mencegah kemungkaran, seperti firman Allah SWT,
            “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (Al Ankabut: 45)
            Ayat ini tidak diragukan lagi kebenarannya jika kita realisasikan kekhusyu’an dan kita tinggalkan kepura-puraan.
Maka bisakah kita seperti sahabat Rasulallah yang sanggup memikul perintahnya dengan mengabaikan segala apa yang menghalangi? Pertanyaan itu hanya dapat dijawab oleh diri kita, tanyakan pada hati apakah sanggup kita berbuat seperti itu?


“ Seorang murabbi itu adalah orang tua bagi mutarabbinya dalam aspek keprihatinan dan soal kebajikan. Murabbi adalah syaikh bagi mutarabbinya dalam aspek memperbaiki kualitas ruhi agar dapat menjadi sumber inspirasi. Seorang murabbi adalah ustadz dalam aspek penyampaian ilmu kepada mutarabbinya. Seorang murabbi juga adalah seorang pemimpin dalam mengarahkan dan memimpin mutarabbinya ke jalan Allah..”

“Di jalan para pejuang, tidak boleh kita hanya menerima tanpa memberi. Komitmen kita ialah memberi buah terbaik kepada masyarakat tanpa mengharap ganjaran yang besar. Selama matahari masih bersinar, disitulah kontribusi kita berterusan..”


1 comment:

  1. ahahahay, ada yang lagi persiapan ni keknya.
    menjadi murabbi idaman,
    yuk mari.. :)

    ReplyDelete

Menjadi Secantik Aisyah r.ha © 2008 Por *Templates para Você*